Oleh Dididk Fotunadi
Pernah suatu ketika – di sebuah negeri yang konon kaya raya – ada sebuah kasus yang pelik, rumit, berbelit, saling timpal tindih, di saat bersamaan dunia memasuki era kebebasan berbicara, era media sosial, dimana tidak ada sensor terhadap apa yang akan dikatakan, apa yang dihujatkan, sebuah kebebasan bicara tanpa aturan dan takaran, pengendalinya hanya dan hanya, kepribadian dan diri sendiri.
Era di mana opini bisa dibuat, era dimana kebenaran bisa dicitrakan, dan kesalahan bisa disembunyikan dalam keterbukaan. Dan ternyata setiap orang akan merespond dan bertindak tergantung paradigma nya saat itu (cara dia melihat dunia ini),
Si A, yang kebetulan dibesarkan dengan penghargaan pendapat, bersekolah umum, menekankan pengalaman sebab akibat, logika matematikanya kuat. Maka cara dia melihat persoalan cenderung menganalisa dan mencari akar masalah, mencari sebab di atas sebab, mencoba mencari solusinya, dan melakukannya.
Kemudian, Si B, yang lahir dikeluarga taat beribadah, dibesarkan dalam lingkungan keagamaan yang kuat, ibadah menjadi budaya, dan berada dalam komunitas keagamaan yang kuat (bisa masjid, gereja, vihara, dll), kecenderungan cara dia melihat dunia adalah kebenaran agama, nilai nilai kebajikan vs kejelekan, nilai nilai dosa dan pahala akan lebih dominan dibandingkan menganalisa akar masalah dan sebab dari segala sebab.
Kemudian Si C, dibesarkan dengan aturan atruran, lalu besar dan bersekolah di jurusan hukum, dan berkarir di bidang peradilan, maka cenderung ia akan menilai dari dasar hukum apa yang bisa dikenai atas tindakan apa, perdata atau pidana, tidak boleh main hakim sendiri, nilai sebab akibat dan nilai kebenaran religi tidaklah menjadi penting bagi Si C.
Dan, Si D, dibesarkan dalam toleransi sosial, pemahanan tentang lahirnya negara pancasila, paham tentang kebhinekaan, paham paham kebangsaan, kesejahteraan bersama, maka nilai nilai sosial menjadi di atas segalanya.
So, pertempuran paradigma di media sosial, kebebasan bicara yang tanpa kontrol, akan mengkotak kotakkan kelompok bukan berdasar atas paham kebangsaan, tapi berdasarkan paradigma. Dan merubah paradigma itu bukannya tidak bisa, tapi sulitnya bukan main ….
Memang ujungnya, nilai nilai kebangsaan kita yang menjadi hambar, oleh sebab itu kegelisahan saya mulai muncul, mungkinkah umur apa yang disepakati bernama NKRI dan berbangsa Indonesia akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan?