Didik, seorang anak muda, lulusan SMA, dari keluarga sederhana, dari sebuah desa kecil di pinggiran kota Blitar, datang ke ITB di Bandung. Sedari dini sang ibu menasihati: kuliahlah yang rajin, tidak usah ikut-ikutan demo, supaya bisa lulus cepat, dapat pekerjaan bagus, dan hidup bercukupan.  

Tapi, garis linier semacam itu tidak ada di pikiran seorang Didik. Sedari SMA, dia telah “diracuni” oleh sebuah ide untuk aktif di dunia kemahasiswaan, melalui sebuah buku pledoi mahasiswa ITB dalam peristiwa 5 Agustus 1989. Di samping itu, benih kepekaan sosial telah tumbuh saat menangkap kepahitan hidup di kampungnya dan rentetan kejadian tragis yang dialami teman-teman dekatnya.

Berbekal ide itu, tidak heran jika jalan hidup seorang Didik berbeda dari kebanyakan mahasiswa lain di eranya. Sejak awal dia mencari dan menceburkan diri ke dalam arus gerakan mahasiswa di kampus. Spirit itu menemukan momentumnya oleh sejumlah kejadian penting di kampus: kasus skorsing, aksi bakar KTM, doktrin PPLK, pesta wisuda, kaderisasi PSIK, dan diksar himpunan GEA. Peristiwa-peristiwa itu memaksanya mengalami perang batin antara kesetiaan di jalur pergerakan mahasiswa dan pesan sang ibunda tentang jalur “murni” belajar di kampus.

Namun, pelan-pelan dia memahami, gerakan besar dan masif hanya mungkin dimulai dari langkah-langkah kecil. Bahkan langkah kecil itu dimulai dari pertemuan satu-dua orang, ngobrol ngalor-ngidul, sambil minum secangkir kopi. Pendeknya, revolusi itu bisa datang dari obrolan secangkir kopi.

Mengapa pendeknya dari Secangkir Kopi?

Karena kopi hanya nikmat diminum ketika mengepul panas, dan akan menjadi dingin setelah 20-30 menit berikutnya. Jadi ide secangkir kopi itu bicara waktu, obrolan pendek, selama kopi masih panas, namun ide dari obrolan kecil itu bisa menggelinding menjadi sesuatu yang besar, atau bahkan sesuatu yang sebelumnya tak terpikirkan, sebuah revolusi.

Dengan kesadaran itu, dia bergerak di level himpunan jurusan, di tingkat universitas, lalu jaringan antar-universitas, hingga berpuncak pada pendudukan gedung DPR-MPR yang mempercepat kejatuhan Soeharto. Dia, bersama ribuan anak-anak muda lain, telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia.

Novel ini tidak hanya bercerita tentang heroisme gerakan kemahasiswaan, tetapi juga pergulatan pribadi Didik dalam pencarian jati diri, kemurnian persahabatan dan cinta, dan ikatan emosi serta tanggungjawab orangtua dan anak.