Revolusi dari Secangkir Kopi
“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin,
akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari...”
― Pramoedya Ananta Toer
Awalnya, saya tidak tahu apa gunanya menulis. Tapi sedari usia 12 tahun, saya punya kebiasaan itu, merekam apa pun pengalaman yang tidak biasa di atas lembaran demi lembaran kertas. Dan ketika zaman menganugerahkan kesempatan berjibaku dan terseret gelombang gerakan Reformasi 1998, coretan-coretan itu akhirnya berkembang, sebuah pertengkaran rasa dan pikiran di ujung jari yang menari di huruf-huruf dalam papan ketik komputer. Dan lahirlah ”Revolusi dari Secangkir Kopi” ini, sebuah novel berdasarkan kisah nyata.
Hidup ibarat hujan sekali dalam setahun kehidupan dunia: cepat hilang, cepat terlupakan, dan teramat banyak yang tanpa jejak. Menulis adalah mencoba membuat air hujan itu dapat ditampung dan dialirkan, dan aliran itu semoga bermuara sampai jauh.
Menulis peristiwa jatuh bangunnya kemahasiswaan sampai reformasi ’98 merupakan semacam upaya menghadirkan kesaksian, sebagai salah satu manusia – dari jutaan mahasiswa yang bergerak dalam mimpi bersama – menumbangkan rezim Orde Baru. Reformasi ’98 bukan peristiwa yang tiba-tiba. Ada banyak kisah, dan semua itu merupakan cerita panjang menaiki anak tangga yang membawa negeri ini menuju puncak perubahan di 1998. Reformasi bukan untuk sekadar dirayakan, tapi untuk ditemukan hikmah dan salah satu cara melawan lupa. Melawan lupa akan sebuah tirani yang pernah terjadi di negeri ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada semua pelaku reformasi 98, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada empat kawan Pahlawan Reformasi mahasiswa Tri Sakti, tanpa mengurangi rasa prihatin saya pada aktivis-aktivis yang terculik dan belum kembali sampai hari ini, dan tetap sepenuhnya sadar bahwa peristiwa reformasi adalah milik mahasiswa dan rakyat seluruh negeri ini, ijinkan saya menghadirkan satu kisah yang saya alami itu dalam bentuk novel ini. Saya percaya, ada ribuan cerita lain di belakang peristiwa bersejarah itu.
Perjalanan Revolusi dari Secangkir Kopi sampai lahir menjadi novel ini tak terjadi dengan sendirinya. Oleh sebab itu untaian rasa dan ucap terimakasih dari hati yang paling dalam perlu saya sampaikan, walaupun saya tahu itu belumlah cukup dibandingkan dukungan yang telah diberikan semua pihak dan kawan-kawan.
Terimakasih teruntuk …
Ibuku, Sukinem – perempuan bermental baja dan penuh kesabaran yang meneladaniku hidup dalam kesederhanaan, yang telah memberiku kehidupan begitu banyak.
Almarhum Bapak, Moeljana Sismihardjo – laki-laki yang mendidik bahwa sesuatu itu harus diperjuangkan. Mimpi anak-anaknya mentas pendidikan itu harus diperjuangkan dengan keringat, dengan kerja keras, dengan kejujuran, dan tanpa keluh kesah.
Keluarga tercinta, Mamiya – Kaka Navarro – Adik Zeevarra, atas keikhasan berbagi waktu saat saya menulis, berdiskusi, dan membangun novel RDSK ini.
Tejo Srinoto, atas koreksi dan tukar pikirannya saat awal menulis novel ini. Makin Perdana Kusuma, atas pandangannya. Ahmad Shalahudin, atas semangatnya. Didin Kurnia, atas ide-idenya yang tak biasa, dan Anton Kurnia, atas masukannya.
Hermawan Akhsan, atas kritik dan sarannya yang berharga. Joni Ariadinata, atas tamparan kerasnya sehingga novel ini menjadi lebih dewasa dan kokoh. Sweta Kartika, atas ide-ide kreatif dan bagaimana proses sebuah adegan berlangsung, serta atas ilustrasinya yang berkarakter. Rahim Asik, atas inisiatifnya untuk mengangkat novel ini menjadi cerita bersambung (cerbung) di Harian Pikiran Rakyat, Bandung (Oktober 2013 – April 2014)
Kawan Fajar Surya, Rara Andria, Henny Hendriyani, Widi, Hendra Kusuma, atas dukungan dan semangatnya untuk terus berjuang.
Fajroel Rachman, Yanti Soegino, Pramono Anung, Rizal Ramli, Enda Nasution, Ratih Pratiwi, Komala, Darsono, atas apresiasinya.
Tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini, atas diskusi, debat, kritik, dan keikhlasan dicantumkan nama aslinya dalam novel: Charly, Feldimus, Siswanto, Meldi, Anto, Alit, Sawal, Ivan, Dodik, Meliana, Nurfais, dan Deny Agus Dwijanto.
Baiquni dan tim Mizan atas arahan dan ketelatennnya mendampingi proses perbaikan naskah novel ini.
Puji syukur Alhamdulillah, akhirnya perjalanan Novel Revolusi dari Secangkir Kopi ini bersua dengan anda, pembaca novel.
Penulis.
Didik Fotunadi